IndonesiaSeni.com, Yogyakarta - Raungan sirine terdengar mengaum memekakkan telinga. Ratusan pengunjung yang hadir di tepi sungai Bedog pun menutup telinga mereka. Sementara itu di atas rakit perupa Joko Pekik melarung sebuah lukisan "Celeng" (babi hutan) di aliran Sungai Bedog yang sangat deras. Sementara itu, di sisi yang lain, puluhan penari secara ekspresif menyuguhkan pementasan Opera "Wayang Milenium".
Ritual "Larung Celeng" yang dilakukan Joko Pekik merupakan salah satu rangkaian dari acara "Kasongan Bamboo Art Festival" yang dilangsungkan di pelataran rumah perupa Joko Pekik, Desa Sembungan, Kasihan, Bantul, Yogyakarta. Selama sebulan penuh sejak 18 Desember lalu, pelataran rumah Joko Pekik nyaris tak pernah sepi dari keramaian. Sebab, di tempat ini digelar bermacam kegiatan seni tradisional dan modern yang disuguhkan oleh para seniman dan budayawan kenamaan di Jogja.
Penyelenggaraan festival ini sekaligus sebagai ungkapan dari para seniman di Jogja yang ingin mengingatkan kepada publik tentang arti pentingnya sungai yang bersih dan sehat. Sebab, sungai merupakan urat nadi kehidupan yang harus selalu dijaga kebersihannya. Karena itu, selain pementasan wayang kontemporer, di tempat ini juga digelar workhshop seni, pementasan teater, dangdut, hadroh, jathilan, seni lukis, fashion, campur sari, barongsai serta aksi sosial donor darah.
Penyelenggaraan festival ini sekaligus sebagai ungkapan dari para seniman di Jogja yang ingin mengingatkan kepada publik tentang arti pentingnya sungai yang bersih dan sehat. Sebab, sungai merupakan urat nadi kehidupan yang harus selalu dijaga kebersihannya. Karena itu, selain pementasan wayang kontemporer, di tempat ini juga digelar workhshop seni, pementasan teater, dangdut, hadroh, jathilan, seni lukis, fashion, campur sari, barongsai serta aksi sosial donor darah.
Menurut perupa Joko Pekik, selama ini masyarakat nyaris tak pernah peduli lagi dengan sungai. Bahkan sebagian besar memfungsikan sungai sebagai tempat sampah. Karena itu, sungai kemudian menunjukkan kuasanya dengan mendatangkan bencana. "Sungai yang semula ramah, berubah menjadi pemarah dan menimbulkan bencana dimana-mana, karena ulah manusia," ujar Pekik.
Oleh karena itu, Larung Celeng merupakan simbol adanya pembersihan perilaku masyarakat terhadap sungai, dengan harapan sungai dapat kembali pada sifatnya yang ramah. Sebab, hewan celeng dimaknai sebagai simbol sifat angkara murka, jahat, kotor dan sifat buruk manusia terhadap sungai. "Sungai yang bersih juga akan berdampak pada masyarakat yang sehat juga," tambah Joko.
Selain atraksi kesenian, di tempat tersebut pengunjung juga diberikan kesempatan "berselancar" dengan "Rakit Kyai Song" di sepanjang Sungai Bedog. Harapannya, dengan semakin banyak masyarakat yang naik rakit ini akan semakin meningkatkan kecintaan masyarakat kepada sungai. Namun, Rakit Kyai Song ini bukan rakit biasa. Selama naik rakit ini penumpang harus membersihkan hatinya terlebih dulu. Selain tak boleh ada pikiran jahat, selama berada di atas rakit penumpang juga tak boleh berkata-kata jorok maupun bersikap sembrono. Sebab, sikap-sikap demikian terkadang secara tak sadar dapat mencelakakan penumpang. Pekik mengungkapkan, pada jaman dulu Rakit atau Gethek, merupakan salah satu alat transportasi yang sangat penting. Sebab, pada jaman dulu aliran sungai masih sangat deras dan hanya diseberangi dengan rakit. Namun, seiring dengan kemajuan pembangunan, maka peran rakit kian tergeser. Namun, seiring dengan dilupakannya peran rakit ini, ternyata rasa cinta manusia terhadap sungai juga semakin berkurang. Padahal, seperti unsur bumi lainnya juga mempunyai "perilaku" sendiri yang tak bisa dilawan oleh manusia, sehingga terjadinya bencana banjir dimana-mana sesungguhnya karena sungai mengambil kembali wilayahnya yang selama ini direbut manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar