Rabu, 09 Januari 2013

DONGENG EPISTEMOLOGI: Alam Pikiran Melayu antara Amok Massa dan Mitos Pribumi Malas - Sebuah Rekonstruksi Nalar


DONGENG EPISTEMOLOGI: Alam Pikiran Melayu antara Amok Massa dan Mitos Pribumi Malas - Sebuah Rekonstruksi Nalar


Paox Iben Mudhaffar



"Saya ingin mencoba dan memahami mengapa begitu banyak orang melakukan
kejahatan dalam nama identitas," -- Amin Maalouf, In The Name of Identity

Pada tahun 2001 seorang perupa kenamaan Indonesia, Entang Wiharso, membuat sebuah pameran tunggal bertitel “Nusa Amuk”. Pameran di Bentara Budaya dan Taman Budaya Jogjakarta yang dikuratori oleh Jim Supangkat dan ko-kurator Suwarno Wisetrotomo ini merupakan sebuah refleksi atas beberapa kejadian, khususnya di sekitar era reformasi 1997-1998, dimana banyak terjadi kasus kekerasan fisik dan konflik berdarah di Indonesia yang cukup menggegerkan dunia internasional. Sekitar tahun 1996-2001 Indonesia memang tengah mengalami masa pergolakan yang cukup luar biasa. Ambruknya penguasa rezim Orde baru Suharto didahului oleh krisis moneter dan disintegrasi sosial yang melahirkan serangkaian kerusuhan; demo mahasiswa dan masyarakat, penjarahan, pembakaran tempat ibadah, pemerkosaan etnis tertentu (terutama Tionghoa) dan ketika akhirnya Suharto mengundurkan diri, meletus beberapa kasus perang antar etnis yang mengancam keutuhan bangsa. Media-media internasional menyebut peristiwa kekerasan berdarah itu sebagai Amok. Sebuah suku kata dalam bahasa melayu yang berarti kemarahan yang luar biasa dan tidak bisa terjelaskan oleh akal sehat.

Entang Wiharso yang saat itu tinggal di Amerika hanya bisa menyaksikan kejadian-kejadian itu melalui pemberitaan media—terutama melalui CNN. ia merasakan ketegangan orang-orang disekitarnya (di Amerika) mengikuti berita-berita horor di sebuah negeri yang diidentifikasi sebagai  The Land of Violence itu. Ia pun mengalami perasaan campur aduk yang luar biasa, antara rasa tidak percaya, ngeri, dan tidak berdaya. Sebuah pertanyaan klisepun seringkali muncul, bagaimana mungkin bangsa yang dicitrakan agamis, ramah, lembut, sopan-santun, bisa melakukan kebiadaban yang sedemikian rupa? Memperkosa secara masal, saling bunuh, saling tebas, tak peduli anak-anak atau kakek-kakek-- sebab  dalam berbagai kerusuhan tersebut anak-anak dan kakek-kakek juga banyak yang menjadi korban pembunuhan.  Maka ia pun menuangkan seluruh kegelisahannya dalam sebuah ekspresi senirupa, dan ketika kembali ke Indonesia membuat pameran yang bertajuk Nusa Amuk tersebut.

Cerita tentang kekerasan tentu ada dimana-mana di seluruh dunia dari berbagai zaman hingga hari ini. Kita hanya tidak percaya bahwa hal itu tiba-tiba ada di sekeliling kita, terjadi pada sejarah hidup kita, sementara setiap hari kita berkutat dengan pendidikan moral, agama dan tata susila yang mengajarkan hal-hal ideal yang harus ditempuh dalam hidup. Kesadaran kitapun sering terpecah-pecah dibuatnya. Benarkah kita ini seperti gambaran ideal yang ada di buku-buku pelajaran itu atau seperti dikemukakan oleh seorang penulis Romawi kuno Titus Maccius Plautus sebagai “Homo Homini Lupus”Manusia adalah serigala bagi manusia lain?

Kenapa akal sehat itu tiba-tiba menghilang? Mahluk seperti apa sebenarnya kita? Apa saja yang mempengaruhi jalan pikiran kita? Apa yang membedakan kita satu sama lainnya? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu pasti terus akan melumuri sisa hidup kita, dan yakin, tak akan pernah terjawab tuntas sampai kapanpun. Kita hanya bisa merumuskan diri sejauh, apa yang sanggup kita jangkau dari apa yang tersaji di sekeliling kita. Sesekali kita bisa berlindung di bawah atap doktrin keagamaan, keyakinan, ideologi tertentu, ilmu pengetahuan, atau kesenian, asal tetap masih berpegang pada akal sehat. Sebab terlalu banyak hal, yang juga sering dijejalkan kepada kita, bukan hanya hal-hal baik, tetapi juga stigma-stigma buruk. Bahwa kita ini pemalas, suka melanggar hak orang lain dan seterusnya.

Stigma-stigma peyoratif, atau negatif itu, seringkali juga bukan datang dari kita. Tetapi entah, karena berbagai proses penyisipan yang terjadi di bawah sadar, melalui indoktrinasi terus-menerus dan bertubi-tubi, juga melalui berbagai hal lainnya, kita pun terlanjur mempercayainya. Maka bacalah karya Syed Husain Alatas, The Myth of The Lazy Native,(Mitos Pribumi Malas, 1988) yang mencoba mendekonstruksi stigma buruk itu, terutama yang dijejalkan oleh bangsa-bangsa asing ketika mereka menduduki negeri-negeri kita di masa lalu. Sebuah buku dari Sosiolog Malaysia yang begitu cerdas mengupas, menelanjangi, aspek-aspek lain penjajahan, terutama di wilayah Asia tenggara atau yang dikenal dengan Rumpun Budaya Melayu. Melalui buku tersebut,  Syed Husein Alatas mencoba menganalisis asal usul dan fungsi mitos tentang pribumi malas dari abad ke 16 sampai 20 di Filipina dan Indonesia.

Dalam buku tersebut, Syed Husein Alatas memulai risetnya melalui catatan Tome Pires yang mempersepsikan orang melayu sebagai bangsa yang pencemburu karena para istri orang-orang penting tidak pernah telihat di muka umum. Setelah satu abad kekuasaan Portugis di Malaka para pejabat Portugis pun memiliki persepsi lain dengan  menguraikan penampilan dan pakaian orang Melayu. Mereka menyatakan bahwa kebanyakan mereka menyenangkan, nakal dan sangat ceroboh. Mereka juga berakal dan cerdas tetapi mengabaikan pelajaran dan sastra. Ia juga membandingkan perlakuan kaum bangsawan dengan rakyat biasa. Menurutnya para bangsawan mengisi waktu dengan menyabung ayam dan musik, sementara rakyat biasa memanfaatkan waktu dengan ketrampilan teknik untuk memperoleh penghasilan.

Beberapa yang lain seperti John Francis Gamelli Careri yang datang ke Malaka pada 1665 itu menyatakan orang-orang Melayu (Minangkabau) yang beragama Islam adalah para pencuri yang handal sedangkan DE Vellez Guirrero seorang kapten Portugis menyatakan orang Melayu biadab. Tetapi semua pendapat ini ditolak oleh Francois Valentyn (Belanda) yang menyatakan orang Melayu lincah, lucu, cerdik, berbakat dan yang paling sopan santun dari dunia timur. Sir Stanford Raffles, Letnan Inggris yang karirnya sangat cemerlang dan sempat menjadi Gubernur Jendral di Hindia Belanda itu menyatakan bahwa orang Melayu tidak memperoleh tingkat pengembangan intelektual yang tinggi. Ini adalah karena baginya tidak ada sistem hukum yang ditetapkan dengan baik dan diterima umum. Hal ini menjadi penyebab utama terjadinya kemerosotan karakter orang Melayu.

Menurut Raffles, ini dapat dilihat ketika terdapat perselisihan dalam administrasi, juga terjadi perang di antara suku, perebutan tahta dan lain-lain. Raffles juga memiliki fitur pembawaan yang lain yaitu menganggap bahwa orang Melayu itu malas misalnya ketika memiliki beras mereka tidak bekerja karena tidak ada rangsangan untuk terus mencari rezeki. Selain itu Raffles juga menyatakan bahwa orang Melayu suka membalas dendam. Keris disimpan di dalam kain lipatan (tersembunyi) dan digunakan untuk menikam diam-diam. Orang Melayu juga peka terhadap hinaan, dan benci pada perdamaian yang dipaksakan oleh pihak lain.

***

Hal yang menarik dari pernyataan Entang Wiharso yang kemudian melahirkan “Mahakarya” tentang Nusa Amok itu,  dan karya Syed Husein Alatas adalah bagaimana “Kita” dipersepsikan oleh “orang lain” atau the other dalam sebuah susunan identitas-identitas. Keduanya, dengan cara masing-masing, meskipun tidak secara tegas membuat konstruksi tandingan tentang identitas yang dipersepsikan tersebut, telah melakukan sebuah pembongkaran yang luar biasa dalam konteks nalar, terutama bagaimana kekuasaan itu bekerja mempengaruhi persepsi masyarakat. Syed Husein Alatas, dengan riset sejarah dan sosiologinya, mencoba mencari benang merah atau sebuah akar dari persoalan yang selama ini melilit ‘identitas’ yang ia tengarai sebagai dunia bentukan, konstruksi-konstruksi, sesuatu yang dilekatkan untuk tujuan tertentu yakni penguasaan.

Sementara dalam konteks Entang Wiharso, yang kebetulan menggunakan medium senirupa, mungkin dia justru menempatkan diri sebagai orang yang terimbas persepsi darithe Other tentang Amok tersebut, terutama melalui media massa barat tempat dimana ia hidup saat itu. Melalui berita-berita di media massa barat itu, ‘identitas’ yang dia pahami sebelumnya seperti menampakkan wajah dalam keberbedaan yang begitu telanjang dan jalang.  Kadang-kadang ia tampak menggairahkan, ecstaticus mundi, kadang sungguh menyeramkan, horror mundi. Menggairahkan? Ya, tentu saja. Sebab dorongan seperti apa yang membuat sesorang begitu bersemangat untuk membunuh?

Sesuatu yang khas dari karya-karya Entang (hingga hari ini) adalah, seperti gagasan di benak Julia kristeva, ia dengan sengaja dan sungguh-sungguh melempar diri sepenuhnya ke dalam suatu dunia horor dan neraka yang seakan tanpa Tuhan (sebab Tuhan itu ada di Surga!). Ia seperti tak hendak sembunyi dari kenyataan, bahwa epidemi itu, wabah penyakit yang menggerogoti fisik serta mental kita telah menampakkan akibat kengerian dan kegetirannya yang luar biasa. Maka kegamangan itu harus dipersaksikan. Perlawanan harus dilakukan. Dalam benak Entang (barangkali); kita sendiri yang mesti menciptakan wabah baru, wabah yang akan menulari jiwa dan tubuh bangsa ini. Wabah (dalam karyanya) ini, sebenarnya adalah sebuah refleksi atas dunia yang penuh warna kelam, ketakutan yang mencekam. Wabah ini adalah otokritik bagi coreng moreng diri dan nalar kita. Wabah ini adalah cermin, sekaligus palu (dalam konteks Nietzchean) yang membongkar borok dan nanah kebudayaan.

***

Bagi saya, kedua hasil karya orang hebat ini memiliki bobot yang sama. Karya keduanya sama-sama menggugat. Syed Husein Alatas dengan tela'ah ilmiah, Entang Wiharso dengan ekspresi seninya. Keduanya, meminjam istilah Derrida, menolak Logosentrisme. sesuatu yang dipaksakan sebagai kebenaran-kebenaran. Jacques Derrida menunjukkan bahwa kita selalu cenderung untuk melepaskan teks dari konteksnya. Satu term tertentu kita lepaskan dari konteks (dari jejaknya) dan hadir sebagai makna final. Inilah yang Derrida sebut sebagai logosentrisme. Yaitu, kecenderungan untuk mengacu kepada suatu metafisika tertentu, suatu kehadiran objek absolut tertentu.

Lalu keduanya, melakukan dekonstruksi; Dalam dekonstruksinya masing-masing itu, ditunjukkan bahwa dalam setiap teks selalu hadir anggapan-anggapan yang dianggap absolut. Padahal, setiap anggapan selalu kontekstual: anggapan selalu hadir sebagai konstruksi sosial yang menyejarah. Maksudnya, anggapan-anggapan tersebut tidak mengacu kepada makna final. Anggapan bahwa orang pribumi (melayu) itu malas, atau suka mengAMUK tanpa sebab, tentu harus diperiksa. Anggapan-anggapan tersebut hadir sebagai jejak (trace) yang bisa dirunut pembentukannya dalam sejarah. baik sejarah dalam pengertiannya yang rigid (rigerous) maupun sejarah dalam konteks penalaran itu sendiri.

Yang membedakan barangkali,antara seni dengan filsafat atau ilmu pengetahuan pada umumnya, seni bisa saja membiarkan dirinya tidak utuh. Sebagaimana manusia itu sendiri, bukankah ia menjadi makhluk sempurna justru setelah menyadari dirinya tak sempurna? Ketidak sempurnaan itu ingin meraih Yang Sempurna. Dan keduanya muncul, justru untuk saling melengkapi. Sebagaimana Ganesha, dalam tradisi India itu.

Suatu ketika, Batara Shiva dirundung gusar. Ia pulang kerumahnya. Sesampai di depan pintu,  ada seorang anak duduk menghalang langkahnya. Ia pun bertambah marah. tanpa berpikir panjang, dipenggallah kepala anak itu. Iap un sangat terkejut, ternyata bocah itu anaknya sendiri. Namun dengan kesaktiannya ia segera menggantikan kepala anaknya itu dengan kepala seekor gajah yang kebetulan berada di dekatnya. Sang gajah tidak mati sia sia karena putra dewata hidup kembali, meski dalam keganjilannya. Dialah Ganesha, dewa kepandaian (ilmu pengetahuan) dan seni...

Paox Iben Mudhaffar,
Penulis seni dan Novelis


Tidak ada komentar:

Posting Komentar