Pertunjukan RAMBUT PALSU, karya Peter Karvas oleh Teater Cassanova
Pada kebermulaannya teater adalah sebuah kebersamaan yang saling meluruhkan tubuh dalam sebuah entitas yang saling telanjang. Teater merespon “ketidaktahuan teks”dalam sebuah media yang paling intim, yaitu tubuh. Era sentralisasi seni yang cenderung meniadakan “gejala” di luar dirinya (Romantisisme seni) masih “menggejala” pada hari ini, yaitu bahwa kebenaran dunia hanya dapat ditunjukkan melalui perbendaharaan kebudayaan salah satunya seni, khususnya teater. Kemiskinan konteks ini menjadi dalih bahwa seni masih sanggup menginterupsi ruang normatif, padahal senyatanya masalah geo-politik di luar kesenian sudah sangat “interupsionis” terhadap keseharian masyarakat. Seperti halnya dunia sains telah begitu “tragis” semenjak ditemukannya virus ebola, kebocoran lubang ozon, bayi tabung dan Bank sperma, lalu hal “teatrikal” apalagi yang mesti diciptakan ulang oleh seniman.
Kesadaran membaca “Otherness” yang mulai ditinggalkan oleh visi-misi berkesenian para seniman mengakibatkan“kemandulan konteks”, dan “kemiskinan adaptasi” akhirnya menggerogoti diri kesenian itu sendiri, dan akhirnya seni mulai ditinggalkan masyarakat karena banyak hal-hal yang lebih tragis terjadi dengan cepat di luar wacana tentang seni. Namun dalam pertunjukan teater “RAMBUT PALSU” karya Peter Karvas yang dipentaskan oleh kelompok Teater Cassanova di GK Dewi Asri STSI Bandung pada tanggal 23 Oktober 2012 adalah proses mengkaji sekaligus mencipta ulang romantika seni, mereka menyiasati ketertinggalan seni khususnya teater pada saat ini dengan menggunakan “strategi konteks”.
Penyadaran organisasi konteks itu dapat kita lihat dari peluruhan “keagungan menara teater” itu sendiri, teater bersentuhan secara langsung dengan denyut masyarakatnya secara luas, teater kembali menjadi heterogen justru karena “keagungan itu diingkari oleh teater”. Keruntuhan menara gading teater dijadikan sebuah ruang tanpa batas “homo-hetero” dalam pertunjukan RAMBUT PALSU, mari kita lihat bagaimana proses pemecahan “kemiskinan konteks” yang melanda dunia kekinian coba direformulasi oleh pertunjukan ini.
Pemusatan yang Terpecah-Pecah
Secara adaptatif keterpecahan sudah dimulai dengan hadirnya revolusi komunikasi yang ditandai dengan munculnya handphone dan juga internet, serta perangkat canggih telekomunikasi lainnya, akhirnya kebudayaaan dan kesenian kita tidak lagi ditentukan oleh sistem keterpusatan namun oleh retakan dan pecahan komunikasi yang tersebar. Maka persepsi teater tidak lagi bisa seragam karena dia telah melewati proses keterpecahan komunikasi yang beragam, negatifnya adalah bahwa ketidak-terpusatan ini menjadikan ontologi teater tercerai berai, menjadi buih yang beragam namun juga cepat hilang, hingga pusat menjadi kosong dan kering, sebab telah direbut oleh pecahan-pecahan informasi di luar dirinya.
Menyiasati keterpecahan itu pertunjukan RAMBUT PALSU memakai sistem “tanpa pusat” justru untuk “memusatkan keterpecahan”. Praksisnya kita dapat melihat dari berbagai kalangan yang hadir dalam pertunjukan rambut palsu, berbagai kalangan tersebut menjadi penanda dari kemacetan penonton teater yang melulu hanya ditonton jika tidak oleh orang teater itu sendiri, seniman atau paling tidak orang yang pernah memiliki relasi dengan kegiatan teater, selanjutnya adalah kesunyian publik teater yang hanya berkutat di sekitar dirinya.
RAMBUT PALSU dari perspektif relasi seniman dan penonton telah berhasil menyedot “dunia ketiga” yang terpecah-pecah tersebut dalam sebuah “keintiman ala teater yang memusatkan”. Ini adalah strategi yang tentu menjadi salah satu tawaran bagaimana teater bersentuhan dengan berbagai keterpecahan informasi, bagaimana seniman selain sebagai penyaji juga pengkaji yang mengolah strategi dalam menghadapi realitas tesebut.
Publik Teater Pasca-Drama
Secara bentuk RAMBUT PALSU adalah konvensi drama yang amat akademis, ini dapat dilhat dari begitu “matematis-nya” struktur drama yang berbau BABAK juga EPISODIK, namun Wanggi Hoediyatno sebagai Sutradara tidak hanya ingin menyuguhkan dunia keteraturan tersebut secara mentah, dia mencoba menggagas pengalaman tekstual akademisnya dengan pengalaman konteksual kesenimanannya, sebagai salah satu produk resmi akademi teater yang formalistik, Sutradara Wanggi Hoediyatno dan Penata artistik Rackasiwa Priwansa sudah lebih dahulu dikepung oleh berbagai proses pemusatan yang berorientasi pada pedagogi yang drama-sentris, ini adalah penciptaan yang paradoks sebab menyejarah dalambegitu panjangnya kesimpang-siuaran antara drama dan teater di indonesia, hingga mengapa akhirnya teater modern indonesia selalu berbau “Drama”, meski sejarah teater-nya telah panjang terbentuk sebelum lahir kebiasaan mencatat (drama) dan menghapal drama ini hadir. RAMBUT PALSU sendiri adalah drama yang ditulis oleh Peter Karvas yang bercerita tentang sejarah pembantaian ummat Yahudi yang direka oleh Kaum Nazi, namun secara alegoris pengaburan atas campur tangan seni diproyeksikan dengan Nazi sebagai“kaum berambut”dan yahudi sebagai “kaum botak”, kemuliaan aryasentrisme ditunjukkan dengan RAMBUT dan ketidak-muliaan Yahudi ditandai dengan TANPA RAMBUT.
Secara bentuk RAMBUT PALSU adalah konvensi drama yang amat akademis, ini dapat dilhat dari begitu “matematis-nya” struktur drama yang berbau BABAK juga EPISODIK, namun Wanggi Hoediyatno sebagai Sutradara tidak hanya ingin menyuguhkan dunia keteraturan tersebut secara mentah, dia mencoba menggagas pengalaman tekstual akademisnya dengan pengalaman konteksual kesenimanannya, sebagai salah satu produk resmi akademi teater yang formalistik, Sutradara Wanggi Hoediyatno dan Penata artistik Rackasiwa Priwansa sudah lebih dahulu dikepung oleh berbagai proses pemusatan yang berorientasi pada pedagogi yang drama-sentris, ini adalah penciptaan yang paradoks sebab menyejarah dalambegitu panjangnya kesimpang-siuaran antara drama dan teater di indonesia, hingga mengapa akhirnya teater modern indonesia selalu berbau “Drama”, meski sejarah teater-nya telah panjang terbentuk sebelum lahir kebiasaan mencatat (drama) dan menghapal drama ini hadir. RAMBUT PALSU sendiri adalah drama yang ditulis oleh Peter Karvas yang bercerita tentang sejarah pembantaian ummat Yahudi yang direka oleh Kaum Nazi, namun secara alegoris pengaburan atas campur tangan seni diproyeksikan dengan Nazi sebagai“kaum berambut”dan yahudi sebagai “kaum botak”, kemuliaan aryasentrisme ditunjukkan dengan RAMBUT dan ketidak-muliaan Yahudi ditandai dengan TANPA RAMBUT.
Wanggi Hoediyatno yang dikenal sebagai seniman pantomime ini membuat sebuah ruang kreasi baru, yang saya sebut adalah “serba-serbi performance pasca-drama”, ini dapat kita lihat dari awal kehadiran menonton, bagaimana pertunjukan yang diadakan di Gedung kesenian Dewi Asri STSI Bandung dibuat sangat berwarna secara bentuk dan praksis, pada jalan yang dipakai untuk memasuki GK Dewi Asri kita disuguhi oleh motor-motor besar ala eropa kuno yang menandakan sebuah perburuan kaum-kaum botak. Raungan dari motor sebagai sihir pertama teater, manjur mengundang rasa ketertarikan pada apa yang akan terjadi selanjutnya, mengolah rasa kepenasaranan yang dimiliki oleh reka-kreasi seniman berhasil membuat sesak dan penuh oleh penonton di latar parkrir GK Dewi Asri, lalu setelah itu kita memasuki gedung bawah Dewi Asri yang sudah dipersiapkan dengan instalasi-instalasi mayat-mayat yang diwarnai dengan bambu-bambu runcing mengoyak daging-daging korban pembantaian, sebuah sawah mayat, tentu dengan tembakan mutimedia bergambar korban-korban yahudi yang orisinil sebagai salah satu tanda keterpecahan antara kemurnian teater dan sebuah dunia visual yang kini menjadi entitas baru dalam pengucapan tekhnik seni teater.
Lalu kita menuju ruang utama pertunjukan di mana terlihat pembagian keterpecahan tersebut berlanjut dalam ruang utama pentas, di sana penata artistik Rackasiwa Priwansa membagi elemen pentasnya menjadi 3 hallutama, yaitu kantor para tentara kaum berambut, dia rupakan dengan bentuk kantor yang kelam dan kaku, padat dengan bebatuan granit yang keras dan mengancam, lalu tempat kaum botak yang dihadirkan di tengah-tengah penonton seperti sebuah “interupsi ruang” yang tiba-tiba hadir di samping penonton, kenyamanan yang biasanya hadir dalam hubungan komunikasi yang saling mengamankan, tekhnik normal dimana penonton aman dan nyaman menonton teater, aktor nyaman melakukan aksinya di buat tidak-netral oleh Wanggi.
Ruang musikal sendiri menjadi olah atraksi yang cukup kreatif, penempatan pemusik yang kali ini dibuat seperti mini-orkestra yang dibuat berdekatan dengan kursi penonton secara bersama-sama mencairkan ketegangan yang telah terpecah-pecah, bagaimana ruang penahanan, kantor dan tempat musik menjadi sangat menyatu sekaligus terpecah, realitas dunia ketiga telah masuk menjelajahi bentuk teater, nilai positif yang dapat diambil dari keterpecahan komunikasi betul-betul disadari dan diolah dengan baik oleh sang penggarap. Lalu kita lihat Bagaimana inti-drama yang menaruh kekuatan akting sebagai narasi sihir ini dimainkan? Aktor yaitu Ad Akbar, Wail Irsyad, Wawan, Aldino dan Ridwan Anugerah mempresentasikan kejenakaan tentang pembantaian manusia dengan intensitas laku yang sederhana, fase demi fase.
Fase komikal dapat kita lihat dari perwujudan Wail Irsyad yang dengan serius mengolah mimik aktingnya dalam sebuah konfigurasi ajudan yang mentah-mentah menaati jendralnya, dia sangat setia dan juga mengolah tubuhnya secara intensif. Pergerakannya amat naturalistik, dengan takaran yang bertumbuh, lalu kita lihat bagaimana Ad Akbar yang memainkan Jendral Hog bermain dalam keteraturan seorang Jerman-barbar, jendral tua tersebut bergoyang, berjungkit, juga mengalun dalam representasi kecapaian dan kelelahan, yang dia sampaikan secara clowny, peran-peran tersebut menjadi sangat sinergis dengan tembak menembak antara musik dan akting, terjadi kesatuan yang justru mengembalikan khazanah kelenturan seni pertunjukan seperti teater tradisi longser jawa barat, teater ketoprak di betawi atau bahkan “commedia d’la arte” di Itali yang begitu kaya akan spontanitas, hanya bedanya spontanitas RAMBUT PALSU, adalah spontanitas yang direncanakan dan dilatihkan.
Akhirnya pertunjukan ini menjadi tidak berbatas, dan terlihat tanpa babak, sangat halus dan menjanjikan sebuah peristiwa teater yang membumi dan tidak berpretensi memuliakan teater sebagai menara gading, keseragaman dan pemusatan yang memasung “the otherness.” Memang sudah seharusnya era dunia ketiga, ditanggapi dan diakhiri oleh praktisi teater dengan strategi dan siasat keterpecahan, agar komunikasi yang semakintanpa pusat di era ini dapat kita ambil nilai positifnya, bagaimana konsentrisme teater yang gagap berhadapan dengan dunia televisi dan film dikaji secara bermain-main, tidak tegang namun justru memanfaatkan jejaring mereka. Perlu ada kesadaran bahwa kebudayaan tidak lagi bersumber dari penciptaan seni saja namun menyejarah berjejaring luas, terkait dengan kondisi politik dan sains yang lebih radikal.
Penulis: Riyadhus Shalihin
Foto: May Lodra Nurohman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar