Rabu, 09 Januari 2013

Mengenang Sang Maestro Karawitan


Mengenang Sang Maestro Karawitan

pak_nano_s

Kalau cinta, bang//Bukan ketok magic//Ditutup-tutup pantang dilirik//Cinta terasa asyik//Berbunga-bunga saat dipetik//Kalau cinta, bang//Bukan super market//Mengada-ada biar kepelet//Cinta kan tetap lengket//Tak akan pudar walau kepepet...”
Pernahkan Anda mendengar sebagian kutipan lagu tadi? Lagu tadi berjudul “Cinta Ketok Magic” yang dipopulerkan oleh penyanyi dangdut  Evi Tamala pada 1992 lalu. Adalah almarhum Nano Suratno yang menciptakan lagu itu. Selain lagu “Cinta Ketok Magic”, beliau juga menciptakan lagu  “Kalangkang” (Bayangan) yang dipopulerkan oleh Nining Meida pada 1989, dan “Cinta” yang dinyanyikan oleh Hetty Koes Endang. Lagu Cinta Ketok Magic dan Kalangkang meraih HDX Award tingkat nasional, sebab meledak di pasaran.

Nano Suratno atau yang lebih akrab dipanggil Mang Nano S, merupakan maestro musik karawitan sunda dan lagu pop sunda. Selain itu, ia dikenal sebagai seorang penulis dalam bahasa Sunda, dan pernah menjabat sebagai Kepala Taman Budaya Propinsi Jawa barat (1995-2000). Kepopulerannya terdengar sampai level internasional. Sejak kecil, darah seni Nano sudah terlihat. Ia merupakan murid langsung dari seorang tokoh angklung ternama, Daeng Soetigna, dan seniman karawitan sunda, Mang Koko. Pertemuannya pertama kali dengan Daeng Soetigna terjadi saat ia melanjutkan pendidikan ke Konservatori Karawitan di Bandung pada 1961, setamat SMP. Kebetulan ketika itu sekolah tersebut dipimpin oleh Daeng Soetigna. Ketertarikannya pada karawitan sunda memang besar. Terbukti ketika kuliah, ia memilih Jurususan Karawitan Sunda di Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) dan STSI Bandung.

Pada 1964, ia ikut Koko Koswara atau yang akrab dipanggil Mang Koko dalam perkumpulan seni karawitan sunda, Ganda Mekar. Pada 1972, ia membuat perkumpulan seni karawitan sunda sendiri yang bernama Gentra Madya. Awalnya penciptaan lagu karawitannya terpengaruh Mang Koko. Namun berangsur-angsur ia menciptakan ciri khasnya sendiri. Perbedaan ciri Mang Koko dan Nano Suratno, yaitu: jika Mang Koko melontarkan kritik berbagai ketidakberesan dalam masalah sosial masyarakat, Nano juga, tapi ia seolah-olah menertawakan diri sendiri, yang sering terbawa ke situasi kocak.

Ia rajin memadukan antara musik karawitan dengan kesenian lain, seperti pop sunda, sajak, sampai alat musik modern. Kemahiran dan profesionalismenya dalam kesenian Sunda semakin terlihat saat ia diminta oleh Min on, impresario, sebuah kelompok seni di Jepang untuk menggelar pertunjukan seni Sunda di berbagai kota seluruh Jepang selama 40 hari dengan 22 kali pertunjukan. Pagelaran ini mendapat sambutan antusias, karena memadukan keindahan dan disiplin tinggi. Setelah itu, Nano seringkali dundang tampil di Jepang, Amerika, Belanda, dan sejumlah negara lain untuk menampilkan karawitan Sunda. Namun, tidak sekadar mempertontonkan karawitan Sunda, ia juga gemar mengolaborasikan karyanya dengan alat musik setempat, seperti kotochi dan samisen di Jepang dengan kecapi dari Jawa Barat.

Sepanjang hidupnya, Nano yang lahir di Garut pada 4 April 1944 ini menghasilkan karya musik Nano, antara lain Sang Kuriang (1979), Katakana Hiragana Uta (1981-1982), Ueno Koen (1981-1982), D’enshano Uta (1981-1982), Kalangkang (1989), serta Cinta Ketok Magic (1992). Di samping itu, ia juga menciptakan lagu untuk Gending Karase’men, antara lain Deugdeug Pati Jaya Perang, Raja Kecil, I Syawal di Alam Kubur, dan Perang. Sedangkan karya tulisnya dimuat di majalah berbahasa Sunda, Mangle, Hanjuang, dan lain sebagainya. Cerpen-cerpennya dikumpulkan dalam buku berjudul Nu Baralik Manggung (Yang Pulang setelah Manggung). Sejumlah penghargaan pernah diraih, seperti Fellowship dari The Japan Foundation selama di Tokyo Gedai (Universitas Kesenian Tokyo), mendapat perhatian sebagai komponis yang sarat dengan kekuatan akar etnis karawitan sunda yang penuh inovasi dan pengembangan dalam Festival Komponis Muda Indonesia I (1979) HDX Award tingkat Nasional (1992), Hadiah Seni dari Akademi Jakarta (2004), serta Hadiah Sastra Rancage atas jasanya memelihara dan mengembangkan bahasa Sunda lewat lagu-lagu karawitan ciptaannya (2009).

Pada hari Kamis, 30 September, ketika mengendarai motor ke kantor saya yang kebetulan dekat sekali dengan rumah beliau, jalanan sangat macet. Ternyata penyebabnya adalah banyaknya orang yang menyelawat ke rumah Nano Suratno. Nano Suratno meninggal pada Rabu malam, 29 September 2010, dalam usia 66 tahun di Rumah Sakit Immanuel, Bandung, karena pecah pembuluh darah di kepala belakang bagian kanan, setelah terjatuh di rumahnya pada hari Sabtu, 25 September 2010. Selama 5 hari ia mendapat perawatan di rumah sakit. Aktifitas sebelum komanya bahkan tidak jauh dari kegiatan seni. Saat itu, ia sedang mengerjakan tulisan perjalanan rombongan gamelan di Belgia dan Belanda. Nano dinilai sebagai seniman dan budayawan yang mumpuni. Karya-karya almarhum mampu memberikan warna dan khazanah kesenian tembang dan karawitan Sunda. Banyak yang mengakui, sampai saat ini tidak ada yang bisa mengalahkan konsistensinya itu. Selamat jalan sang maestro.

Fandy Hutari,
Penulis buku (sejarah, novel, seni), esai, dan cerpen
Tinggal dan bekerja di Bandung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar