Rabu, 09 Januari 2013

Catatan Tour Ary Juliyant Ke India


Catatan Tour Ary Juliyant Ke India




aryjuliant1

Ary Juliyant : "Musik Itu Perlu Kejujuran"
Salam hangatku kepada ikan-ikan di laut lepas
Dari seberang selat hingga ke samodra Indonesia
Biru laut adalah cinta yang membiarkan ku hanyut
Seberangi O bahagia yang membiarkanku berair mata

IndonesiaSeni.com, Mataram - Namanya Ary Juliyant. Lahir di Bandung 31 Juli 1964. Dari namanya pasti ia seorang seniman. Mantan aktivis mahasiswa pecinta alam MAPAK ALAM UNPAS Bandung ini sudah lebih dari 15 tahun tinggal di Lombok. Aktivitasnya sehari-hari memang tidak lepas dari urusan kesenian. Jika anda sempat berlibur atau berkunjung ke Lombok, silahkan ke Senggigi. Hampir setiap hari ia manggung bersama kelompoknya, Ary Juliyant & Folk di beberapa café dan bar di Senggigi. Seniman penghibur? Jangan salah…
Namanya sangat kesohor terutama di blantika musik Indie Indonesia. Apalagi seantero Nusa Tenggara Barat, sudah hampir pasti melegenda. Seniman rendah hati yang biasa disapa Kang Ary ini, bila ada waktu, tak pernah menolak undangan pentas di mana, kapan dan oleh siapa saja. Di kampus-kampus, di kampung, di berugak desa, di acara nikahan sekalipun, di manapun. Tentu saja, ia akan membawakan lagu-lagu karya sendiri atau beberapa puisi kawan-kawannya yang dilagukan. Bagi para pecinta atau penikmat musik indie, alternatif, tak perlu khawatir. Ia juga merekam lagu-lagunya dan mengedarkannya dalam bentuk cd. Semuanya ia produksi sendiri, asli handmade, termasuk cover cd-nya yang cukup unik. Antara satu cover dengan cover lainnya hampir tidak ada kesamaan. Semuanya ia buat dengan tangan. Kertas karton, ditempeli guntingan koran bekas, dicorat-coret dengan spidol, pena atau pensil, dipilox dan foto copy. Karena itu ia namakan produksinya sebagai photo copy record.

Meskipun secara garis besar ia banyak membawakan musik berjenis country dengan ciri syair balada, namun lagu-lagunya cukup beragam. Ia sering menyebut lagu-lagunya, dan musiknya tentu saja, ber-aliran sesat. OUT OF BOX. Keluar dari kelaziman-kelaziman. Se-ekstrim itukah? Ya, ia memang betul-betul anti mainstreams jika yang anda maksud seperti musik-musik pop atau lagu-lagu yang biasa kita dengar di televisi atau radio-radio. Atau jangan-jangan karena musiknya atau lagu-agunya tidak diterima oleh Major Label alias industri musik? Gagal jadi artis gitu maksudnya? Bisa jadi. Ia pun tidak menampik itu. Bahwa ia pernah tergiur untuk memasuki industri rekaman. Dan segera musiknya pun dicampakkan, dianggap kurang sesuai dengan selera ”pasaran”. Tak mengapa. Itu dulu. Setidaknya ia justru merasa terselamatkan karena terhindar dari ”jebakan popularitas semu”. Lho, kok bisa? Bukankah itu impian semua musisi? Ah, tidak juga!

Dalam musik itu butuh kejujuran,” begitu sering diungkapkan Ary Juliyant. Mungkin terdengar klise, di tengah pamer ketidakjujuran yang hampir membudaya di negeri ini. ”Musik adalah bahasa hati. Ungkapan terdalam dari jiwa kita. Bagaimana kita mampu menangkap soul of nature, atau energi zaman dalam karya-karya kita misalnya, kalau kita tidak jujur?” Jika kalimat itu diperpanjang, bagaimana para seniman,musisi, bisa berkarya dengan baik jika otak dan hatinya ”sudah tergadai” oleh dunia industri? Seniman atau musisi berkarya agar populer dan karyanya laku di pasaran? Bagaimana seniman, atau musisi akan menyuarakan keadilan atau suara mereka yang tertindas dan merintih kesepian di tengah hiruk pikuk zaman yang meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan? Mungkin tidak semua. Tapi siapapun tahu betapa piciknya industri musik di Indonesia. Para produsernya tak mungkin mau membuka warna lain atau ruang-ruang kemungkinan bagi wacana kreatif jika tak berarti ”fulus” atau istilah lainnya yang penting bisa merontokkan pulsa atau uang pendengar. Tak perlu musik yang berkualitas, yang penting enak, renyah dan terpenting diantara semua; HARUS LAKU!
  
Maka lihatlah. Band-band tumbuh menjamur. Dari anak-anak SMP hingga kuliahan, anak-anak yang suka ngepos di perempatan hingga eksekutif muda semua pada ngeband. Namun hampir semuanya menawarkan warna musik yang seragam. Syair lagu-lagunya pun tak lebih kekanak-kanakan dari lagu anak-anak di tahun 80-an atau paling tidak awal 90-an. Memang, era musik ”serius” sepertinya sudah habis atau sengaja dihabisi. Dikebiri. Keberadaannya dianggap mengancam industri musik tanah air yang dikuasai oleh beberapa kartelan. Band-band atau musisi yang cukup serius seperti kelompok-kelompok rock tahun 70-an sudah pada uzur. Sementara para musisi atau kelompok yang eksis tahun-tahun 80-an akhir atau awal 90-an yang dikenal dengan aliran Log Zhelebour pun sudah pada gulung tikar. Jika pun masih eksis, harus segera berganti haluan ikuti trend yang sudah digariskan. Jika tidak...kehkkk. abiss! Di luar itu semua sebenarnya masih banyak "para penempuh jalan kesejatian di bidang permusikan". Umumnya mereka memang mengambil jalan sunyi seperti Slamet Abdulsyukur atau musisi yang hidup dari kampus ke kampus atau festival khusus dengan menekuni musik kontemporer. Ada pula yang lebih memilih sesekali muncul dalam ruang pop bila arusnya memungkinkan, seperti Indra Lesmana, Dwiki Dharmawan dengan kelompok Krakataunya, Purwa Caraka dsb. Ada juga yang memilih berkarir di luar negeri karena di sana tentu lebih memungkinkan. Atau yang benar-benar memilih jalan sunyi hingga sama sekali tersembunyi, seperti permata atau mutiara di kedalaman laut, nyaris tidak kelihatan. Salah satunya adalah Ary Juliyant, si gerilyawan musik.

aryjuliant2


Salah satu kegemaran Ary Juliyant adalah melakukan perjalanan, tour keliling. Tidak seperti yang anda bayangkan. Bukan, bukan tour mewah dengan segala macam perlengkapan dan penyambutan seperti layaknya seorang ”bintang jadi-jadian" atau artis karbitan yang sekarang banyak menjamur itu. Hanya perjalanan biasa, berbekal gitar atau alat musik lainnya. Ia pergi ke mana saja. Ke kampus-kampus. Sekolah. Ke desa-desa. Ke berbagai kota di Indonesia. Ia bahkan dengan penuh rasa percaya diri menyebut dirinya sebagai Gerilyawan Musik. Gelar itu memang pantas ia sandang. Apa? Gila popularitas? Gandrung beken? Jualan keliling? Ah, jauh, sangat jauh dari yang anda bayangkan. Ia selalu mengatakan musik itu untuk siapa saja. Karena itu, musiknya ada untuk menyapa siapa saja, meski mungkin dengan cara yang sedikit berbeda. Tak peduli tempat itu ramai orang atau tidak, ia tetap pentas. Bahkan ia pernah pentas diatas Gunung Rinjani hanya ditemani oleh beberapa kawannya. Beberapa kali memang, ia sengaja tampil hanya disaksikan oleh beberapa gelintir orang. Di bawah tangga sebuah kampus, atau di warung kaki lima. Ia cukup senang, dan itulah yang ia cari, dialog yang lebih intens dan cukup mendalam dengan apresiannya. Karena itu ia cukup rajin bergerilya. Kadang bersama rombongan, bersama kawan-kawan sekelompoknya dan lebih sering; sendirian.
  
Apakah musiknya memang sukar dinikmati, sehingga ia harus mengambil jalan sunyi seperti itu? Sering memang, ia melakukan beberapa eksperimentasi yang ”aneh-aneh”, misalnya membuat musik dengan sapu lidi, suara gergaji, penggorengan dan sebagainya. Apalagi jika ia diminta oleh kawan-kawan seniman lainnya untuk terlibat dalam produksi pementasan tari, teater, atau performance, tentu warna musiknya lebih eksperimentatif. Secara umum, musik Ary Juliyant, terutama lagu-lagunya, cukup enak dinikmati. Terasa ringan namun tetap menumbuhkan kesan mendalam. Beberapa lagunya sangat mudah dihafal, sehingga setiap kali ia konser, audiens yang pertama kali mendengar pun langsung bisa ikut bersenandung, apalagi yang sudah beberapa kali atau sering mengikuti konser Ary Juliyant. Ia juga cukup responsif, serta aktraktif dan suka melebur, melibatkan siapa saja, bahkan orang-orang yang katanya tidak bisa bernyanyi, cacat nada, ia ajak bernyanyi, bermusik dan berdendang. Sungguh, keyakinan yang luar biasa. Sesekali ia juga mendapat tawaran pentas, atau berkolaborasi dengan beberapa musisi ”kondang” di negeri ini. Sawung Jabo, atau Tantowi Yahya, sama saja, bila ia berkolaborasi dengan anak-anak SMU yang baru belajar musik. Semua itu ia jalani dengan penuh dedikasi dan kerendahan hati.
  
Ary Juliyant percaya bahwa seni, musik, adalah penguat dan perekat hati. Melalui musik, seseorang belajar untuk menghargai kehidupan, menghargai orang lain. Dalam musik juga ada sebentuk dialog, percakapan. Mungkin tak harus seperti jazz, di mana dialog itu hadir melalui persinggungan antar nada dan melodi, sehingga membentuk harmoni. Ary Juliyant tak membatasi itu. Baginya, siapapun pantas dan layak mendapatkan musik. Bukan hanya mereka yang kenal nada, bisa bernyanyi atau memainkan alat musik, apalagi hanya mereka-mereka yang sanggup membeli kaset atau vcd atau tiket-tiket konser. Musik ada di sekeliling kita, menyentuh hati kita. Dengan kepercayaan itu, seseorang dan orang-orang lainnya, bahkan seluruh yang hidup bisa disatukan dengan musik.

Musik bagi Ary Juliyant juga bagian dari persinggungan budaya. Komunikasi antar komunitas budaya, berbagai kekuatan antar generasi mampu dihimpun, disatukan dan dimaknai kembali melalui musik. Suatu ketika misalnya, ia membuat eksperimentasi dengan orang-orang seni tradisi seperti musik Cilokaq atau Genggong yang sudah mulai punah. Ia ramu kembali musik-musik itu menjadi sesuatu yang lebih atraktif dan mampu berinteraksi dengan kekinian tanpa mengurangi bobot musikalitasnya. Bagaimana misalnya, menggabungkan Cilokaq yang berasal dari kazanah Lombok dengan unsur-unsur lainnya di Nusantara seperti Padang, Aceh atau Kalimantan. Sebab ia percaya, ada simpul-simpul yang menyatukan berbagai perbedaan penampakan dalam tradisi itu. Musik tak hanya dimainkan. Ia juga terus bergerak, bertegur sapa, singgah di berbagai lokus dalam kurun yang berbeda-beda. Membentuk tradisi dan memainkan peran sebagai komunikator antar jiwa. Namun musik juga bersifat universal. Ia melampaui sekat-sekat ruang dan zaman. Barat atau timur. Tua atau muda. Berbahasa Inggris atau Spanyol. Karena itulah pada tahun 2008 ia nekad pergi ke Belanda dan berkeliling Eropa, main musik di kedai-kedai kecil dikota-kota yang disinggahi hingga di Austria. Dari lubuk hatinya terdalam, ia percaya energi musik akan mampu menyatukan dunia dengan segala perbedaan dan keunikannya.


Ke India, Mencari Akar

Pada tanggal 26 Januari hingga 8 Februari tahun 2011 ini Ary Juliyant berkesempatan melawat ke India. Menurutnya perjalanan itu sangat penting baginya. Ada apa dengan India? Bukan saja karena ke populeran Sittar atau Tablanya bila orang berbicara tentang musik India. Selalu, ada yang unik bila berbicara tentang blantika musik India dengan segala renik tradisinya itu. Konon ia selalu terinspirasi kata-kata Innayat Khan, seorang sufi yang juga musisi spiritualis, bahwa hakekat terdalam dari musik adalah bermusik tanpa memainkan alat musik. Bagaimana bisa? Begitulah, kearifan bermusik mampu pula mengantarkan seseorang sampai kepada pemahaman religiusitas, spiritualitas yang mendalam.

Bagi Ary Juliyant, musik berarti juga energi kehidupan. Dengan energi itu daya hidup, spirit, optimisme ditumbuh kembangkan. Ia menyukai warna-warna dinamis dalam musiknya. karakter itu tentu lekat dengan musik "ke-Timuran" seperti di India. Musik Raga, meditasi, menapaki lorong-lorong pencapaian diri. dan di India, ia berharap mampu menggumuli semua pengalaman itu, selain juga warna trans-culturatifnya tentu saja.

India, bagi sebagian besar kita adalah muasal banyak tradisi yang kini berkembang di Nusantara. Dari Epos Ramayana, Mahabarata juga kebudayaan kontemporer melalui film-film Bollywood yang sangat digemari di Indonesia itu. Negara super besar yang dihuni hampir satu milyar manusia dengan segala macam perbedaan itu. Negeri, yang kata Dominique Lapierre dalam City of Joy, meskipun terlalu banyak orang mati di jalanan karena kemiskinan namun tetap meriah dan bersemangat dalam karnaval keagamaan dan budaya itu. Ya, itu pula yang dikatakan Ary Juliyant, betapa kehidupan seni-budaya, sangat hidup di anak benua yang bernama India itu. ”Banyak sekali festival, peringatan-peringatan...seolah tiada hari berlalu tanpa acara seni,” Maka tak salah, jika Ary Juliyant mengatakan ”ke India, untuk mencari akar...” sebab betapa banyak varian budaya kita yang bersumber dan berakar dari India. Juga musik dan seni lainnya.

Di India, Ary Juliyant mengunjungi Bhopal, di sebuah distrik bernama Madya Pradesh. Bersama kawan-kawannya ia diundang dalam sebuah festival untuk memperingati hari Republik. Bukan hari kemerdekaan yang jatuh di bulan Agustus. Ia sempat berkolaborasi dengan beberapa seniman lokal India. Tak hanya musik, tapi ia juga membuat sebuah komposisi untuk mengiringi tari kontemporer. Saling bertukar pengalaman, tukar tehnik dan interaksi rasa. Sebuah kegiatan dialog kebudayaan yang cukup indah dan menarik. Bahkan ia sempat diminta tampil dan diwawancarai oleh TV serta media massa lokal. Berbicara tentang perkembangan seni-budaya di Indonesia. Lebih jauh lagi, ia telah mengemban tugas sebagai duta budaya, meski tanpa dukungan sepeser pun dari pemerintah Indonesia. Tak penting. Seniman selalu punya cara untuk berkelit dari keadaan, dari situasi paling ekstrim sekalipun. Itulah pentingnya ideologi gerilya. Itu pula yang dikatakan oleh salah seorang atase pertahanan RI di India; bahwa gerilya merupakan salah satu upaya menghadapi kendala dan tantangan, serta situasi yang kurang bersahabat. Dengan gerilyanya itu, Ary Juliyant justru ingin mengetengahkan musik sebagai bahasa persahabatan.

Seperti kebiasaannya, selama di India itu ia juga melakukan ”gerilya budaya”. Ia berkeliling dan konser di berbagai tempat. Terutama di New Delhi dan Gujarat. ia sempat mencipta beberapa komposisi indah dan beberapa lagu, terutama berkaitan dengan pengalamannya selama perjalanan. Di antaranya adalah Welcome to The Jungle of Chauri Bazar Delhi, sebuah pengalaman ketika ia naik kereta api ke Delhi. Ketika tiba di stasiun bawah tanah yang baru dibangun itu katanya, suasananya sangat mirip di Eropa, dan ketika ia melangkah keluar dari stasiun, pemandangannya sungguh kontras; hiruk pikuk keramaian dan bangunan-bangunan kusam meledakkan hati. Sebuah pengalaman trans cultural yang cukup menarik untuk disimak dari kacamata seorang seniman-musisi. Cara ia mengungkapkan, bagi publik yang belum pernah berkunjung kesana, mungkin sedikit berbeda dengan cara pandang jurnalistik. Sebagai seniman, tentu saja Ari Juliyant tak hanya menangkap ekspresi dan impresi, ia juga merekam jejak yang tak sanggup diurai oleh kata-kata. sebuah gelaran realitas yang hanya mampu dihadirkan oleh warna musikalitasnya.

Di kesempatan lain misalnya, masih soal perjalanan dengan kereta api yang tak jauh berbeda dengan di Indonesia itu sebenarnya, ia mencipta Tamil Nadu ’Asrie’ Express. Bedanya untuk menghubungkan satu kota dengan kota lainnya, jarak tempuh bisa kereta api di India bisa mencapai ribuan kilometer dengan menghabiskan waktu berpuluh-puluh jam. Karena itu kereta api, bagi sebagian besar orang-orang yang hidup dan menyandarkan diri di dalamnya, sudah seperti rumah. Tempat singgah. Tempat menautkan hati dari berbagai kota dengan bermacam tujuan. Ia ingin seperti itu pula musiknya; mampu menghubungkan hati meski tersekat jarak.

Sesampai di Indonesia dan pulang ke Lombok, Ary Juliyant yang cukup fasih berbahasa Sasak itu beraktivitas seperti biasanya. Ia singgah di kedai kopi Pak Jack yang berada di pojok taman budaya. Katanya ada undangan dari sebuah komunitas mahasiswa untuk mengisi acara mereka. Ia pun tetap menjalaninya dengan penuh kerendahan hati dan dedikasi tentunya. Baginya, musik itu untuk siapa saja.

Terus berkarya Kang Ary....Bravo!

Paox Iben 
Penulis, tinggal di Mataram



Tidak ada komentar:

Posting Komentar